8 Sep 2019

Waktu

Kata ibuku, semakin tua kamu akan semakin sadar
Ternyata ibuku selalu saja benar
Kuceritakan satu cerita saja ~tentang dia
Ternyata bukan tentang 'kemana nya' tapi 'sama siapa nya'

Aku nggak masalah, entah itu makan potongan daging sekali suap langsung habis yang seharga 120ribu per porsi
atau sekedar makan pecel lele pinggir jalan dekat taman kota ditemani genjrengan gitar pengamen yang entah niat atau nggak
atau makan dirumah karna kamu lagi mau pamer karna udah mulai jago masak
asal aku bisa denger kamu bilang
'makan yang banyak, biar cepet gemuk'

Aku nggak masalah minum secangkir panas cappucino di balkon cafe tertinggi di tengah kota ditemani live music
atau cuma minum minuman panas yang kubuatkan di rumah
supaya bisa saling mendengar keluhan dan lelah karena seharian bekerja
Katamu tak apa, jika sekarang kita berdua bekerja kalau memang harus, mungkin nanti ada saatnya kamu berdiam di rumah menunggu cerita dan lelahku seharian bekerja, setidaknya itu salah satu obrolan jangka panjang kita yang sampai sekarang belum pernah menemui titik terang ~kapan.

Mau roda empat,
atau cuma dua,
sama saja
yang jelas aku tetap harus belajar menyetir katamu.
Seru memang, membayangkan kamu ngerecokin aku di kursi samping sambil cium sana sini saat aku sibuk merhatiin jalan,
tapi kamu udah pernah belum, liat-liatan dari spion kiri diketawain karna kaca helm suka turun sendiri sampe harus diganjel struk belanja biar bisa meluk dari belakang?
atau dengkul dielus pas lagi kena lampu merah?
nah itu!

Jadi ya kalau bisa, jangan peduliin kata orang harus gimana, kalo kita udah bisa saling ngasih waktu untuk bareng, ya bersyukur,
soalnya uang bisa dicari,
sedangkan waktu nggak bisa kembali.

Aku sih nggak apa-apa kalo nggak bisa beli sepatu idaman atau nonton konser nya mas Mariuchi Takahiro, asal aku bisa ngeliat kamu ketawa karna becandaanku.
Aku nggak apa-apa setelah lelah seharian dan malamnya berbekal aqua botol 1,5lt sama rokok buat video call kamu ber jam-jam karna kangenmu nggak pernah mengenal puas.

Karena buatku,
Bukan masalah kemananya,
tapi selama sama kamu, itu udah cukup,
kamu aja itu udah cukup
jutaan kali lipat cukup.




Patemon, 9 September 2019

27 Jul 2018

8 Jam Sehari

Sebentar, kuhabiskan dulu rokokku yang tinggal seperempat ini baru kita mulai mulai bercerita hal yang tidak begitu egois.

Pernahkah kamu berharap menjadi dewasa?
Apa dalam bayanganmu menjadi dewasa itu menyenangkan?
Jika pernah, baca dulu  tulisan ini, lalu pikirkan lagi baik-baik.

Bukankah esensi menjadi dewasa adalah tidak dapat terang-terangan untuk terlihat cengeng, lemah dan kekanak-kanakan, ada juga yang bilang menjadi dewasa adalah tentang waktu, tak ada lagi waktu untuk membaca buku dan menonton film yang telah kamu beli.
Jika dewasa adalah tentang waktu, saya begitu naif, karena setiap 9 dari 24 jam sehari saya gunakan untuk bekerja, 7 jam saya gunakan untuk tidur, dan sisanya 8 jam saya gunakan untuk merasa kesepian.

Tidak pernahkah kalian merasa kesepian? jika tidak, berarti esensi dewasa yang saya sebutkan diatas adalah salah besar, ajarkan saya untuk menjadi seperti kalian.

Merasa kesepian begitu menyenangkan, menikmati tempat ramai dalam sepi, membenci manusia terlalu mudah, dan berteman hanya sekedar tuntutan menjadi manusia.
Orangtuaku membesarkan dengan penuh kasih sayang, mereka menangis saat ku bersedih, mereka berbahagia saat aku tersenyum, tak ada yang lebih bangga kepadaku selain mereka, didikan mereka tidak pernah salah, bahkan, jika aku membenci semua orang di dunia ini mereka tetap akan memelukku erat.

Kutarik kembali ucapanku, selain membenci manusia, bersamaan akupun membenci kesepian setiap 8 jam sehari.
ya, aku belum dewasa.


Gunung Pati, 28 July 2018

12 Sep 2016

Aku Ingin Bercerita

Teruntuk Abah yang di Hatinya Ada Surga
Teruntuk sepasang mata, saksi atas tumbuhnya aku hingga mendewasa.
Teruntuk sepasang lengan, penyangga saat aku kehilangan arah.
Teruntuk sepasang kaki, penopang sendi saat jejak tak dapat berpijak.
Teruntuk kepala, teladan saat aku tak tahu harus berbuat apa.
Teruntuk tubuh, tak pernah kulupa hangat peluk yang selalu memberi asa.
Teruntuk Abah yang di hatinya ada surga.

Aku ingin bercerita betapa luka mengarungi hidup dalam sepi dan tiada
Tentang kegetiran melanda saat merasa lapar di tengah malam
Tentang beku tubuh saat hujan mendekap dengan dingin paling gigil
Tentang dahaga kerongkongan saat mentari menyengat dan membakar
Tentang pening yang mengetuk kepala pelan-pelan saat datang ujian demi ujian
Tentang sarapan telur mata sapi buatan Ibu yang tak lagi kutemui
Tentang ketiadaan genggam tangan menarik selimut untuk menghangatkan
Tentang ketiadaan teh hangat yang di bubuhi dua sendok gula
Tentang ketiadaan senyummu saat berkata, “Nak, Engkau pasti bisa.”

Tapi bagi cinta
Segala nestapa hanya cara
Memintaku berbenah untuk selalu tabah

Untuk setiap bulir peluh yang jatuh
Untuk setiap rinai air mata berderai di kedua pelupuk matamu
Untuk setiap beban berat yang kau tanggung di balik punggung
Untuk setiap langkah kaki yang goyah menapak tilasi segala daya dan upaya
Untuk setiap belai manja jemarimu yang kau usap di setiap helai anak rambutku
Untuk setiap nyala semangat yang kau percik di dalam dadaku
Untuk setiap keteguhan yang kau ajarkan perlahan
Untuk setiap ketegasan yang terukir dari urat menyembul di lenganmu
Untuk setiap kesabaran yang kau tunjukkan
Untuk setiap syukur yang meninggi meski engkau telah tak dapat disampingku
Untuk setiap tangis doa yang sesenggukan di setiap malam
Untuk setiap hal yang kau lakukan untuk memperjuangkan aku.
Percayalah,
Aku; anakmu
Mencintaimu dengan sungguh

Maka
Kupersembahkan untukmu;
Sebuah toga
Dari jerih dan air mata
Bukan untuk apa-apa
Selain ingin membuatmu bahagia 
Jika saja masih diberi waktu untuk bersama
Saat ini kau pasti akan berteriak bangga
Kepada siapa saja

“Perkenalkan, ini anak saya.”



Patemon, 13 September 2016


Nb: Puisi ini teruntuk kawan meja 2 yang sedang bergembira, @allfiii_ selamat atas hasil pengorbanan selama ini. 

11 Jun 2016

Secuil Rindu

Kamu tidak mencintainya, kamu hanya kesepian. Tak ada lagi ia yg bersandar di bahumu atau merengek di dekat telingamu. Tak ada lagi ia yang manja meminta di rapikan rambutnya, mengusap kepalanya. Meminta dengan mimik lucu untuk dicium keningnya. Kamu hanya kehilangan, hanya kehilangan beberapa kebiasaan yang sering dilakukan berdua. Tentu saja sangat menyebalkan jika harus terlalu lama menahan rindu.
Membenamkan kepala dalam-dalam berharap air mata menghanyutkan semua sepi, kehilangan dan rindu yang entah sampai kapan.

Menangislah, aku tahu semuanya itu menyakitkan, air mata tak menandakan hal itu lemah, esok mungkin kamu akan lebih kuat dari sekarang.

Kamu tidak mencintainya.

Ah aku bosan dengan kalimat itu, bertingkah seolah hati dan kepala selalu bertolak belakang, bertingkah seolah yang kukatakan tak pernah di-iya-kan oleh hati. 

Pada kenyataannya Aku mencintaimu, ini Minggu ke-29 tanpamu, tanpa senyumanmu. Aku terlalu takut untuk melupakan semuanya, tahukah saat kau tertidur pulas, hampir setiap malam ku memandangi wajahmu, membelai setiap lekuk wajahmu, hanya sekedar berjaga-jaga jika suatu saat kau tak lagi disampingku. Sedikit banyak, jemariku lebih mengenalmu daripada sepasang mata ini. 

"Selamat tinggal kekasihku, aku yang dulu mencintaimu"
Itu kalimat perpisahan yang menyakitkan terucap dari hatimu.
Setidaknya hingga sekarang kalimat perpisahanku masih tersimpan rapih di tumpukan perasaan kehilangan yang kamu berikan.

"Pulanglah jika rindu, aku selalu menantikan kepulanganmu. Aku yang masih mencintaimu"

7 Mar 2016

Menikmati Gravitasi

Pada suatu tengah malam, seusai menikmati gravitasi diatas tubuhmu
Kita bercerita tentang coretan di dinding yang baru kita buat siangnya.
Coretan nama kita, 

"Jangan tinggalkan aku, apalagi di bumi ini," 
katamu dengan kerongkongan kering. 
 

tapi Tuhan adalah penguasa 
atas semua air mata dan tawa di bumi ini. Kemudian dengan selera humornya 
yang aneh, melerai cinta kita. 
 

inilah air mata itu kekasih, kau pergi bermil-mil dari lukaku, 
sementara aku harus tenggelam dan kembali beranjak dari seluruh kenanganku tentangmu. 
 

"Jangan tinggalkan aku apalagi di dunia ini." 
masih kukenang itu sebagai lirisme yang jauh. 
juga Tuhan pencipta tragedi dan komedi. 
Sedangkan sang waktu, kekasih. 
kini sang waktu tengah menghangukan jasadku dan diam-diam hendak mengubahnya jadi tanah. 

Suatu saat kelak, seusai lelaki lain menikmati gravitasi di 
atas tubuhmu, maukah kau mengenang coretan dinding dikamarku yang belum sempat kau hapus.

29 Nov 2015

Kehilangan



Saat kehilangan, ada yang suka menyendiri, tapi tak sedikit lebih suka mencari tawa ditempat lain sekedar menghapus air mata. Menikmati sakit atau berpura-pura bahagia dalam sesakitan.

Aku sepertinya tipe munafik, lebih menyukai tertawa saat bersedih, meninggalkan sepi didalam kamar dam sebisa mungkin aku tak masuk kesana. Membayar kesibukan seberapapun mahalnya, seberapapun melelahkannya. Tapi, kebahagiaan itu hanya akan bertahan didalam keramaian, seperti menangis didalam hujan. Hanya sekedar berkamuflase, tetapi saat sepi berkunjung, tawa seketika sirna. Menangis, sepertinya wajar karena setiap raga dititipi satu hati untuk saling mengisi dan melengkapi, apa jadinya jika kesepian atau kesakitan. Menangis adalah ritual yang menunjukkan sedang terjadi luka disana, sekaligus obat pereda rasa sakit itu sendiri.

Pernah kubaca, rasa sakit hati hanya bertahan sekitar satu jam, selebihnya adalah perasaan yang dibuat-buat oleh pikiran dan hati agar terus mengingat kemudian kembali ke menit pertama satu jam tersebut.

Ibuku pernah bercerita, saudara jauhnya menikah dengan seorang pengusaha. Mereka saling mencintai dan saling percaya satu sama lain meskipun suami sering bepergian keluar kota, mereka dikaruniai 2 orang putra putri yang telah tumbuh dewasa.
Pada suatu hari, datang kabar bahwa pesawat yang ditumpangi oleh suaminya jatuh. Saudara ibuku bergeming dan tak juga menangis, ia masuk kedalam kamar dan mengunci dari dalam. Anak-anaknya menguping dari pintu, mendengarkan ibunya menangis nyaring hingga hati mereka merasakan sakit yang sama. 
Setelah satu jam menangis, saudara ibuku keluar kamar seperti tak terjadi apa-apa, seperti tak pernah bersedih beberapa saat lalu. Mengobrol asik dengan anak2nya diruang tv dan menyiapkan makan malam. Kemudian suaminya pulang, ternyata suaminya tak menaiki pesawat yang jatuh itu karena terlambat. Saudara ibuku yang membukakan pintu meninggal saat itu juga, menurut analisa dokter, ia meninggal karena terlalu bahagia mengakibatkan serangan jantung.

26 Nov 2015

Wanitaku




Aku ingat pernah mengeja rinduku kedalam bongkahan gengsi yang besar. Hanya saja, belum saatnya kutunjukkan padamu kasih, tapi sekarang kucoba mengingat-ingat karena mungkin kini waktu yang tepat.

Teruntuk wanitaku dikejauhan, terima kasih telah membuat senyumku lebih lebar saat angin laut menerpa wajahku, terima kasih telah membuat jantungku berdebar lebih kencang ketika kakiku melangkah menjauh darimu, terima kasih telah melukiskan air mata rindu ketika hujan luruh keseluruh tubuh hingga tanah basah menghapus jejak kemarin. Wanitaku, terima kasih karena rinduku pada kotamu telah semakin kuat hingga aku sadar kau lah rumah untukku.

Sesungguhnya jarak, waktu, dan pengorbanan hanyalah angka, sementara perasaan kita yang tak akan pernah bisa dihitung, dan pada kenyataannya, pertengkaran, memaafkan, dan pelukan adalah yang membuat kita kaya. Usah kau risau, aku akan kembali ke kotamu. Tidakkah kau sadar, setiap langkah ku menjauh dari hadapanmu, selangah pula aku semakin dekat siap memelukmu dari belakang, begitulah yang ku ingat dari pelajaran geografi pada saat SD, bumi ini bulat. Bersabarlah hingga aku utuh menjadi milikmu, begitupun aku yang bersabar demi dirimu dan kita.

Hingga ibu membangunkanku, menegurku karena dalam tidur aku tetap saja menyebut namamu. Ibuku berkata, cintai seperlunya sehingga kau tak akan kehabisan cinta esok hari. Bahagia seperlunya agar bukan kesedihan yang tersisa esok. Jika ia bahagiamu, terimalah saat ia menjadi duka dan luka.

16 Sep 2015

Rindu Amarah Mengalah

Selamat terlelap wanita kecilku, benamkan kepalamu dalam-dalam hanya sekedar membunuh rindu, sedikit lagi bersabar menghitung temu, semoga dalam penantianmu tak ada jemu.

Terima kasih telah semakin memperkeruh situasi, apa yg bisa kau lakukan jika permasalahannya adalah jarak, apa yg kau tuntut dari amarahmu jika kita tahu temu adalah buah dari mengalah. 

Kasih, ingatkah kamu pernah kuajari menahan ego. Jika rindu tak sampai, ego yang akan menerbangkannya. Tak apa, mungkin aku yg perlu belajar mengerti, aku perlu lebih banyak mengalah. Menghela nafas lebih banyak dari biasanya, sedikit pengorbanan kecil demi mempertahankan hubungan kita, kuyakin kau pernah melakukannya, hanya saja mungkin saat itu aku dibutakan ego. Sekarang giliranku mengalah. Demi kebaikan kita.

One Day One Post #30

4 Mar 2015

Mengertilah

Pada senyum senja, ada bidak yang diam ditempat. tak menceritakan apapun, percakapan kami hanya sebatas saling mengerti. Senja pun tahu ada yang hilang pada diri kami, kata demi kata telah dibunuh tanpa sisa.

Ada pula yang begitu serakah, membuat bilik-bilik kecil dihatinya agar dapat diisi oleh beberapa hati lainnya. Kau pikir itu adil, kelak penghuninya akan sesak kemudian meledak, apa kamu siap untuk itu.

Mengertilah seperti daun yang gugur, saat ia pergi biarkanlah pergi, agar dapat kembali diisi. Jangan kau buatkan kamar-kamar pada kenangan, disana akan menjadi lorong waktu agar kau menikmati kesalahan yang sama.

Semoga saja lelapmu akan memelihara kesehatanmu sepertiku terjaga agar kepalaku tak membentur kepalamu.